SUARA INDONESIA TRENGGALEK

Banggar dan TAPD Bahas Evaluasi Gubernur Atas APBD Trenggalek

Rudi Yuni - 15 August 2023 | 19:08 - Dibaca 821 kali
Advertorial Banggar dan TAPD Bahas Evaluasi Gubernur Atas APBD Trenggalek
Banggar dan TAPD saat menggelar rapat membahas tindaklanjut evaluasi Gubernur. (Foto : Rudi/Suaraindonesia.co.id)

TRENGGALEK, Suaraindonesia.co.id - Badan anggaran (Banggar) DPRD Trenggalek menggelar rapat bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) pada Selasa (15/08/2023). 

Rapat dilakukan membahas beberapa persoalan terkait pertanggungjawaban APBD tahun 2022. Persoalan ini sebagai tindaklanjut dari evaluasi Gubernur Jawa Timur atas APBD Kabupaten Trenggalek. 

Selain itu, juga membahas terkait Pemkab Trenggalek belum menjalankan undang-undang yang berlaku Tentang Ketetapan Belanja Gaji Pegawai, dimana ada batasan maksimal 30 persen.

Sementara yang menjadi polemik dalam hal ini yakni belum adanya analisa jelas terkait kebutuhan dan data dari seluruh nomenklatur ASN.

Agus Cahyono selaku Wakil Ketua DPRD Trenggalek usai rapat menjelaskan, bahwa kali ini banggar tengah membahas evaluasi Gubernur terhadap draf Raperda pelaksanaan APBD tahun 2022, dimana harus ada tindaklanjut oleh TAPD.

"Jadi hasil dari evaluasi Gubernur atas APBD ini harus ditindaklanjuti segera, sehingga pembahasan tersebut harus dilakukan," ujarnya.

Menurutnya, poin evaluasi seperti tentang perubahan angka, karena ada kelebihan pendapatan dimana pada penetapan APBD perubahan dengan Raperda LPJ APBD berbeda setelah ada tambahan anggaran.

Alhasil, kata Agus ditemukan bahwa sumber permasalahan ada di Gubernur sendiri, karena ada honor dan tunjangan yang bersumber dari APBD provinsi dalam bentuk bantuan keuangan daerah dan masuk di APBD Trenggalek setelah APBD perubahan diputuskan.

"Meskipun secara regulasi memang ada dasar hukum yang memperbolehkan BKK provinsi, dan tinggal menyalurkan saja namun tidak ada pemberitahuan," ungkapnya.

Disampaikan Agus, meski secara tertib keuangan bahwa APBD setelah disahkan, tidak mungkin ada perubahan angka. "Dan ini sebagai upaya tindaklanjut beberapa persoalan," tegasnya.

"Termasuk juga masalah tentang postur APBD, karena amanah dari undang-undang belanja pegawai tidak boleh lebih dari 30 persen. Jika DPRD minta disesuaikan sesuai undang-undang, kedepan harus dibawah 30 persen, namun ternyata TAPD belum siap," tandasnya.

Meski terkesan ada paksaan, lanjut Agus, belum ada argumen yang dapat melaksanakan amanat Undang-undang tersebut. "Misal data berapa kebutuhan birokrat serta tenaga kesehatan hingga guru belum bisa dikatakan benar-benar valid," ucapnya. 

"Dengan data idealnya butuh berapa, kalau memang sudah ada batas minimal namun semua sudah valid data yang ada, berarti bisa jadi sumber permasalahan bukan borosnya belanja, namun transfer DAU kurang," sambungnya.

Menurut Agus, jika Pemda memiliki data valid kebutuhan dan formasi nomenklatur lebih dari 30 persen, namun data ASN pada belanja pegawai di bawah 30 persen belum ada, itu perlu dipertanyakan. "TAPD masih belum bisa bicara tegas karena perhitungan dan kebutuhan ideal berapa belum dapat menjawab," katanya.

Jika dilihat, gaji dan tunjangan ASN semua sudah ada dasar untuk membayarkan, namun dengan masalah ini bisa jadi sumber data yang masih bermasalah. Karena kenyataannya realisasi perkiraan belanja dari APBD sekitar 60 persen.

"Jika dilihat dari perhitungan, sebenarnya belanja pegawai aman cuma terkait kegiatan saja yang perlu ditekan," tegas Agus.

"Jika data ideal kebutuhan ASN telah muncul batasannya, dan bila data itu muncul, jumlah anggaran bisa ditetapkan. Karena logika penataan secara umum pemberian DAU dari pusat telah diperhitungkan," lanjutnya.

Kendati demikian, ada beberapa alasan yang menjadikan hal itu terlihat gemuk yakni terkait wilayah tetap menjadi acuan. "Misal di wilayah kota datar mudah saja dengan meminimalkan sekolah dengan regrouping karena terjangkau," ujar Agus.

Namun, kata dia jika di pelosok desa tidak mungkin dengan adanya regrouping karena jarak itu menjadi problem juga, maka Pemkab harus ada data yang jelas dengan argumentasi yang kuat.

Disamping itu, beberapa sumber masalah datang dari pemerintah pusat. "Misal DAK sebenernya dengan adanya otoritas khusus harusnya dimasukkan pada DAU saja, karena penataan anggaran di wilayah, daerahlah yang paham lebih detail," terang Agus. 

"Apalagi adanya insentif daerah juga hanya anggaran politis karena penilaian juga tidak selektif. Seperti insentif penilaian suatu daerah," pungkasnya. (Adv)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Rudi Yuni
Editor : Satria Galih Saputra

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya